Kenyataan yang Pahit: Mengapa Harus Tertunda?

Sabtu, 24 November 2012

Hari terlihat sedikit gelap, meskipun langit masih cerah, awan masih putih dan waktu belum menunjukkan tanda-tanda senja, tetapi teman-teman Hamid justru menyimpulkan bahwa sebentar lagi akan hujan atau senja akan tiba. Ditambah lagi dengan semakin sepinya pengunjung ditempat wisata tersebut, seakan semakin memperkuat anggapan mereka. Terasa sunyi sekarang, sepi dan terkesan menyeramkan. Mereka baru menyadari ini setelah beberapa lama larut dalam kegiatan sharing yang dipimpin Wati. Meski sempat terbesit dihati Hamid tentang anggapan lain yang mengatakan bahwa akan ada kabut di sore hari, disekitar gunung Ciremai, tetapi ia menepisnya keras-keras. Waktu masih siang menurutnya. Ini kesempatannya, yang mana ingin ia manfaatkan untuk tujuan utamanya tersebut.
“Ini sudah sore deh, kayaknya bentar lagi hujan. Pulang yuk!” ajak salah satu dari mereka.
“Iya deh. Dilanjutnya di mobil saja ya!” timpal Wati mengiyakan.
Kontan saja Hamid begitu terkejut dengan itu semua. Ingin ia cegah teman-temannya sekadar untuk mendengarkan beberapa kata yang ingin ia sampaikan kepada mereka. Namun ia tak kuasa mengatakan sepatah katapun untuk mewujudkannya. Terbesit didadanya tentang kemungkinan benar mengenai anggapan teman-temannya, ditambah dengan kabar dari Sento yang mengatakan bahwa sang sopir terlihat gelisah seakan-akan memberi isyarat bahwa ia ingin pulang. Tetapi sungguh Hamid ingin sekali mengutarakan perasaannya yang tersembunyi, yang mungkin telah ditunggu teman-temannya selama ini, yang telah ia nanti-nantikan kesempatannya, yang sekarang sudah didepan mata, tetapi harus sirna dan sia-sia begitu saja.
Ia telah mempersiapkan semuanya sedemikian rupa, sedemikian matang, sedemikian terencana untuk tujuannya kali ini. ‘Mengapa harus demikian adanya?’ jerit batin Hamid seketika. Ingin rasanya ia putar sang waktu untuk kembali ke masa lalu, meskipun hanya beberapa detik dari sekarang. Ia ingin mengungkapkan, mengetahui reaksi sang gadis dan juga teman-temannya, serta melegakan hatinya.
Dampaknya, Hamid pun sekarang merasakan risau yang teramat sangat, atau seperti yang sedang nge-trend di zaman sekarang disebut dengan istilah galau. Dulu, ia hanya tahu dan sekadar mengenal istilah tersebut dari teman-temannya tanpa mengalaminya sama sekali. Tapi sekarang, ia telah dan sedang mengalaminya, seakan-akan ia tengah berempati, merasakan dan meresapi apa yang sesungguhnya terjadi. Ia pun telah paham bahwa apa yang dinamakan galau itu sungguh tidak mengenakkan. Rasanya seakan-akan ada sesuatu yang mengganjal hebat didadanya. Ingin ia utarakan, tetapi waktu telah terlambat. Ingin ia katakan, tetapi waktu telah berlalu.
Akhirnya ia pun mengikut saja pada iringan teman-temannya yang menuju ke tempat parkir mobil. Kendati ia tak tertunduk lesu, namun sungguh hatinyalah yang tertunduk. Ia begitu sedih, risau, kecewa, dan semua perasaan yang berkaitan dengannya terasa mengumpul mengelilingi Hamid. Ia merasakan tempat duduknya semakin sempit saja, sesempit isi hatinya yang tak tercurahkan. Ia merasakan keadaan didalam mobil semakin sesak saja, sesesak dadanya yang meronta-ronta ingin berkata. Ia merasa bahwa ia tidak diizinkan-Nya melakukan hal tersebut, entah mengapa. ‘Apa salahku sehingga Engkau tak mengizinkanku?’ jerit batinnya saat itu. ‘Mungkin ini yang terbaik’ jawabnya sendiri.
Kendati seperti itu, ia masih tetap mau dan bisa bercanda dengan teman-temannya seperti sedia kala. Tapi bukan berarti ia sudah merelakan kesempatan itu hilang begitu saja. Candaan-candaan selama di mobil sungguh sudah tidak menarik minatnya kembali. Sekalipun ia bercanda renyah diiringi dengan senyumnya yang tak tertahan, yang tampak padanya hanyalah senyumnya dari luar saja, tidak sekaligus dari dalam. Hatinya tidak tersenyum saat itu. Walau Habib, si rajanya lelucon di kelas mereka, mengajaknya bercanda. Itu bukan berarti Hamid terhibur, meski ia masih bisa menimpalnya dengan sesuatu yang juga sanggup memeriahkan suasana didalam mobil.
Sang Pemacu Semangat dan Masa Lalu yang Mengundang Iba
Sekarang, Hamid teringat kembali pertama kali ia bertemu dan mengenal sang gadis. Ia langsung menjadi pusat perhatian dikarenakan keunggulannya dalam mata pelajaran matematika dan segala yang berhubungan dengan ilmu hitung atau ilmu pasti. Hamid memaklumi hal tersebut karena ia sendiri pernah mendengar suatu hal dari pembicaraannya dengan salah satu temannya, yang menakjubkan tentang gadis tersebut. “Ia pernah menjadi juara olimpiade matematika untuk tingkat MTs se-Kabupaten Indramayu.” ujar salah satu teman MTs-nya saat itu. Menurut Hamid, itu sangat mengagumkan bagi seorang siswi lokal asal Kecamatan Krangkeng yang bisa meraih prestasi yang sedemikian tingginya di level persaingan yang sudah sedemikian ketatnya.
Ini juga yang memacu semangat Hamid untuk bisa ‘menaklukkan’ matematika dan kawan-kawan sejenisnya. Jujur saja, ia iri dengannya. Namun sungguh irinya tersebut bukanlah hal yang dilarang, melainkan sangat dianjurkan. ‘Dia bisa, mengapa aku tidak bisa? Masa aku kalah? Masa aku diam saja?’ ujar Hamid suatu ketika. Dan kini ia bisa merasakan dampak iri tersebut yang menurutnya signifikan, yakni nilai matematikanya, baik saat ulangan harian maupun di raport, jauh lebih baik daripada dahulu. Dulu, matematika bagi Hamid adalah hal yang menakutkan. Tetapi sekarang, nampaknya telah hadir sebuah mutiara yang berkilau, indah nan berharga disisinya yang telah memompa semangatnya untuk menghadapi ketakutan tersebut.
Terkait dengan sang gadis yang tak banyak berbicara, menurut Hamid sepertinya ia juga mengalami hal yang sama. Hanya saja, terdapat perbedaan yakni pada lawan bicaranya saja. Seumur-umur, Hamid akan banyak berbicara dan mudah membaur bersama teman-temannya, baik sejenis maupun lawan jenis, andai terdapat suatu hal yang perlu diperbincangkan atau suatu candaan semata, sama seperti sang gadis tersebut, menurut Hamid. Tetapi ketika yang menjadi lawan bicaranya adalah seorang perempuan yang ia sukai, dalam artian gadis pujaannya tersebut, sungguh ia akan mencari ide pembicaraan terlebih dahulu sebelum benar-benar memberanikan diri untuk mendekatinya secara langsung. Terkadang pula akan muncul keringat dingin di wajah dan tangannya, pertanda bahwa ia begitu gugup saat berhadapan dengannya. Ide tersebut bisa berupa pengalaman atau yang paling sering, adalah tentang matematika semisal PR atau tugas lainnya.
Saat Hamid ingin mendekati sang gadis, ia akan mencari ide pembicaraan yang ideal dan pantas. Misalnya menanyakan tentang PR matematika yang menurutnya sulit. Ia akan menanyakan hal tersebut pada sang gadis sejelas-jelasnya sembari tak lupa ia menatap matanya. Ini ia lakukan terkadang semata-mata karena ia benar-benar kesulitan dengan PR tersebut, atau terkadang ia menjadikan ini sebagai media untuk mendekatinya dan berusaha mengakrabkan diri dengannya, kendati sangat sulit baginya. Saat ia menanyakan perihal PR tersebut, adakalanya ia sudah paham sebenarnya atau bahkan sudah mengerjakannya. Ia melakukan itu sembari berdalih untuk memastikan dan menyamakan jawaban PR-nya dengan jawaban milik sang gadis.
Mengenai mata pelajaran lain, semisal bahasa Inggris. Ia terus terang prihatin dengan kecakapan teman-temannya dalam bidang tersebut. Suatu hari dan mungkin juga sekarang, ia ingin sekali mengajarkan bahasa Inggris kepada gadis pujaannya tersebut, utamanya adalah teman-temannya yang terbilang sulit memahaminya. Entah kapan itu, tetapi ia sangat menginginkannya. Ia merasa iba dengan mereka yang kurang bisa memahami pelajaran tersebut. Ia sendiri tak akan segera bergerak selagi mereka belum menyadari hal tersebut. Suatu hari pula, guru bahasa Inggris di sekolah, Bapak Sidik memberi tugas kepada Hamid dan teman-temannya untuk mencari sebuah berita berbahasa Indonesia darimana pun itu lalu menerjemahkannya ke bahasa Inggris. Saat itu Hamid telah selesai mengerjakannya. Ia pun berkeliling kelas untuk sekadar melihat hasil kerja teman-temannya, sembari berharap agar ada diantara mereka yang meminta bantuannya lalu ia akan dengan senang hati melakukannya.
Sampailah ia di meja sang gadis, ia lihat tugasnya di sebuah kertas. Dan betul saja kekhawatiran yang selama ini menderanya, akhirnya terjadi juga. Hamid melihat hasil kerjanya tersebut, banyak terdapat kekeliruan. Ia membacanya sesuai kesalahan yang tertera di sana untuk memancing rasa penasaran sang gadis. ‘Ini ada yang keliru’ ujarnya seraya memancing sang gadis untuk bertanya tentang apakah itu, disertai dengan suara yang pelan dan hati-hati, khawatir kalau ia menyinggung perasaannya, . Namun tidak ada reaksi sama sekali dari sang gadis, mungkin ia pikir ini sudah benar, atau ia sendiri tidak tahu dan bingung bahkan tidak mau tahu tentang hal ini, lalu memeriksanya. Entahlah, yang jelas Hamid sangat ingin membantunya, juga teman-temannya, mengenai hal demikian.
Cerpen Karangan: Arya Al Jauhariyah
Blog / Facebook: Harry Mj

0 komentar:

Posting Komentar